Senin, 21 November 2016

Pukulan terakhir

Aku tak tahu kapan ini dimulai karena begitu aku sadar ini telah berakhir. Secepat itukah? Atau aku hanya merasa ini sudah begitu lama?
Aku tak tahu kapan ini dimulai karena begitu aku sadar ini telah berakhir. Secepat itukah? Atau aku hanya merasa ini sudah begitu lama?

Aku ingin melupakan semua percakapan itu, semua. Aku ingin menenggelamkan semua rencana itu, semua.
Aku ingin membakar semua langkah itu, semua.
Namun aku berhenti, berdiri di sini, tak mampu melangkah, tak mampu bicara, dan hanya menerimanya.

Air mata? Rasanya aku sudah tak punya. Aku bercermin lalu berkata pada bayanganku, "cukup". Aku katakan sekali lagi, "cukup". Akhir dari semua ini adalah kenyataan. Hal yang tak pernah bisa aku terima dari dulu. Setinggi apapun mimpiku, pada akhirnya kenyataanlah yang terjadi.

Aku ingin melupakan semua percakapan itu, semua.
Aku ingin menenggelamkan semua rencana itu, semua.
Aku ingin membakar semua langkah itu, semua.
Dan aku melakukannya.

Satu pukulan terakhir, tepat di wajahku. Aku terjatuh dari kursiku. Bangun dari tidurku. Oh ternyata mimpi.

Sabtu, 19 November 2016

Ujung dan Pangkal

Hidup tak pernah ada ujung dan pangkalnya.
Keluarga yang bahagia, bersama-sama setiap waktu. Jika kalian adalah salah satunya, maka aku bukanlah termasuk di dalamnya. Bapak dan Ibuku tidak tinggal dalam satu atap. Ya, mereka tinggal secara terpisah, bukan karena mereka bercerai tapi karena Bapakku diberi rejeki yang jauh dari rumah. Bapakku bekerja di Jakarta sedangkan aku dan Ibuku memutuskan untuk tetap tinggal di kota kecil bernama Sukoharjo. Keputusan yang sulit? Entahlah. Aku belum lahir ketika Ibu memutuskan untuk tetap tinggal di Sukoharjo meskipun waktu itu beliau memiliki kesempatan untuk pindah ke Jakarta.

Hidup tak pernah ada ujung dan pangkalnya. Kami tumbuh selayaknya keluarga biasa, rumah kecil, makanan tersedia, hidup sederhana dan semuanya berjalan baik-baik saja. Pertemuan dengan Bapak adalah harta yang berharga seingatku. Sebulan sekali dan itu hanya satu hari. Itupun jika Bapak tidak sedang dikirim untuk kerja di Medan. Meskipun jarang bertemu, Bapak tetap lelaki hebat di mataku. Makanan favoritku adalah nasi goreng buatan Bapak. Arsitek yang paling kukagumi adalah Bapak karena beliau mendesain rumah kami sendiri untuk setiap inchinya. Guru favoritku adalah Bapak karena apapun pelajaran sulit yang tidak bisa kukerjakan, beliau akan menyelesaikannya dengan baik. Menyesal untuk keputusan yang diambil kedua orang tuaku? Tidak. Aku percaya keputusan yang mereka ambil sudah melalui diskusi dan pertimbangan yang jauh dari apa yang bisa kami nalar.

Hidup tak pernah ada ujung dan pangkalnya. Sekarang, Tuhan mengganti setiap waktuku dan Bapak yang tak bisa bersama setiap hari. Kini aku bererja di Jakarta dan  adikku juga bersekolah di sini. Sekarang Tuhan memberiku kesempatan untuk merawat Bapak. Memasak untuk beliau, mencuci baju beliau, membereskan tempat tidur beliau, apapun yang dulu tak pernah kulakukan untuk beliau. Sekarang Bapak diberi kesempatan untuk melihat kami, anak-anaknya, tumbuh setiap hari. Sekarang tak perlu menunggu sebulan sekali untuk minta dimasakkan nasi goreng, untuk mendiskusikan hal-hal baru yang belum aku pahami.

Dan,
Hidup tak pernah ada ujung dan pangkalnya.
Entah sampai kapan aku bisa merawat Bapak atau sebaliknya.
Aku bersyukur Tuhan memberiku kesempatan ini.

"Bapak, sekalipun surga tak berada di bawah telapak kakimu. Aku tetap menyayangimu.
Semoga segala kesehatan, kebahagian, keselamatan dan kemudahan selalu menyertai langkahmu.
Semoga gadis kecilmu ini bisa menjadi kebahagian dan kebanggaanmu."

"Bapak laper, masak nasi goreng dong."

Rabu, 03 Agustus 2016

Kisah Lucu

Aku mencintai setiap jengkal tubuhmu. Meski perutmu kian membuncit atau kulitmu yang makin lusuh. Aku tahu rayuanku basi di telingamu, namun adakah cara lain untuk menghibur dukamu?

Aku ceritakan kisah lucu, bagaimana?

Kala itu, ketika hari beranjak sore. Birunya langit semakin memudar. Mungkin ia malu kau pandangi sehingga warnanya berubah jingga. Aku memperhatikanmu dari balik jendela. Melihat kau termangu menatap senja dari teras rumah kita.
Aku tak mau mengganggu kesakralanmu itu.
Dalam hidupmu senja adalah cinta sejatimu. Meskipun bukan cinta pertamamu namun senja telah mampu membuatmu jatuh dalam cinta.
Tuhan mungkin sedang bercanda waktu menuliskan takdir itu, Ia membuat seseorang jatuh cinta tanpa diikuti kesempatan untuk memilikinya. Namun, apa yang bisa kau lakukan selain menjalani takdir yang lucu ini. Kau menjumpai senja setiap hari, menatapnya tanpa bisa memiliki.
Senja telah pulang, langit kini telah gelap. Kau berjalan menuju dapur. Di sana aku sedang sibuk membuatkanmu secangkir kopi. Tanganmu melingkar di pinggulku, kau menciumi aroma rambutku perlahan dan dalam.
"Hei sayang, Senja sudah pulang?"
"Iya"
Ada hening di antara percakapan kita.
"Aku mencintaimu."
Aku tahu ada yang ingin kau yakinkan dalam ucapanmu barusan. Aku tahu keraguanmu berusaha kau singkirkan.
Aku memutar tubuhku, melihat bola matamu, rasanya aku tak mau mempedulikan lagi semua keraguanmu itu. Lelaki ini milikku, atau paling tidak tubuhnya adalah milikku. Aku menciumimu, memasrahkan semua tubuhku padamu dan mengabaikan semua keraguanmu.

Lelakiku ini mencintai senja sepanjang hidupnya meskipun tahu tak akan pernah bisa memilikinya. Ia hanya mampu menatapnya di waktu tertentu. Dan aku,  wanita yang sedang dicumbunya ini hanyalah memiliki sisa cintanya tak lebih dari ujung jari.